Jumat, 13 Februari 2015

Makalah Hukum Thalak

PENDAHULUAN

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agam islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjtukan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan atau perceraian dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang biak. Al-Qur’an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami istri yang menunjukkan adanya keretkan dalam rumah tangga yang dapat berujung perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga itu bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah bagi kehidupan suami istri dalam bentuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak. Allah menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut tersebut agar tidak terjadi perceraian. Dengan begitu Allah mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan. Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup suami istri. Untuk maksud perceraian itu fiqh menggunakan istilah furqah.  Penggunaan istilah putusnya perkawinan ini harus dilakukan secara hati-hati karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqih digunakan kata “ba-in”, yaitu suatu bentuk perceraian yang suai tidak boleh kembali lagi kepada mantan istri kecuali dengan melalui akad nikah yang baru. Didalam makalah ini kana dijelaskan mengenai alasan-alasan pengajuan cerai, prosedur dan tata cara perceraian.



PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Hukum Thalak
Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “thalak” atau“furqah”. Thalak secara etimologi adalah bentuk masdar dari thalaqa denga di fathah dan di dhamah lam-nya. Thalak berarti melepas dan meninggalkan. Secara terminologi thalak adalah melepaskan ikatan pernikahan secara keseluruhan atau sebagian. Secara harfiyah Thalak itu berarti lepas dan bebas. Kata melepaskan atau membuka atau meninggalkan mengandung arti bahwa thalak itu melepaskan sesuatu yang selama ini tela terikat yaitu ikatan perkawinan.
Dasar diperbolehkan thalak Al Qur’an, sunnah, ijma, dan qiyas. Sesungguhnya pernikahan apabila terlaksana dengan akad demi beberapa kemaslahatan, maka ia rusak dengan thalak dengan tujuan yang benar juga. Bila hubungan pernikahan itu tidak dapat legi diepertahankan dan kalau dilanjukan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya perceraian atau thalak itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqih disebut makruh. Walaupun hukum asal dari thalak itu adalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum thalak, yaitu:
1.    Sunnah, yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemudaratan yang lebih banyak akan timbul.
2.    Mubah, yaitu boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yan dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya.
3.    Wajib, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakan itu memudaratkan istrinya.
4.    Haram thalak itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli.

Syarat dan Rukun Thalak
a.      Syarat-syarat Thalak
Menurut syariat islam seorang suami yang menjatuhkan thalak terhadap istrinya, sah thalaknya apabila menurut syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Tidak dipaksa
2.      Sehat akal
3.      Tidak keadaan mabuk (disengaja)
b.      Rukun Thalak
Ditinjau dari segi cara seseorang mengucapkan lafadz thalak, thalak ada 2 macam yaitu:
1.    Thalak sharih yaitu thalak yang diucapkan suami secara tegas dan gamblang dengan kata-kata thalak. Thalak sharih rukunnya ada 3 yaitu:
a.       Yang menalak (suami)
b.      Yang dithalak (istri)
c.       Lafadz (tanpa niat)
2.    Thalak kinayah yaitu thalak yang diucapkan suami tanpa mempergunakan kata-kata thalak secara tegas tetapi dengan sindiran yang dapat diartikan dengan thalak. Thalak kinayah rukunnya ada 4 yaitu:
a.       Yang menalak
b.      Yang dithalak
c.       Niat (thalak)
d.      Shighat (lafadz)
Macam-macam Thalak
1.      Thalak Raj’i adalah thalak kesatu atau kedua, dimana seorang suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah/menunggu.
2.      Thalak Ba’in Sughra adalah yang tidak boleh dirujuki tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
3.      Thalak Ba’in Kubro adalah thalak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Jenis thalak ini tidak boleh dirujuk kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da aldukhul dan habis masa iddahnya.
4.      Thalak sunni adalah thalak yang dibolehkan yaitu thalak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
5.      Thalak Bid’i adalah thalak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam kedaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

B. ALASAN PENGAJUAN CERAI
1.      Menurut Syariat Islam
Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan:
a.    Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.
b.    Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini dinamakn thalak.
c.    Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yag menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusny perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertetu ini diterima oleh suami dan dilanjutnya dengan ucapannya untuk memutuskan perkwinan itu. Putusnya perkawinan ini disebut khulu’.
d.   Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan ini disebut fasakh.
Di samping itu, terdapat pula beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan perkawinan itu secara hukum syara’. Terhentinya hubungan perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk yaitu:
a.    Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kaffarah. Terhentinya hubungan suai istri ini disebut dengan zhihar.
b.    Suami tidak boeh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar kaffarah atas sumpahnya itu; namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan ini disebut dengan ila’.
c.    Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai proses li’an dan perceraian dimuka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut li’an.
2.      Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 dalam pasal 19 menyebutkan alasan bagi suami istri untuk bercerai ialah:
a.    Slah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dsb yang sukar disembuhkan.
b.    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuan.
c.    Salah satu pihak mendapatkan hukuman 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.   Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membehayakan pihak lain.
e.    Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f.     Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

C. Prosedur dan Tata Cara Pereraian
1.      Tata Cara Thalak Menurut Ulama
Kesepakatan para ulama madzhab, kecuali Hambali bahwa thalak yang dijatuhan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun ia telah pandai. Dan thalak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa dinyatakan sah (kecuali pendapat Hanafi). Dalam madzhab Hanafi ditegaskan bahwa thalak yang dijatuhkan orang yang melakukannya karena keliru dan lupa, adalah sah. Dan Maliki, Syafii sependapat dengan Abu Hanifah dan pengikutnya mengenai thalak yang dijatuhan secara main-main, tapi Ahmad dan Hambal  menentangnya.
2.      Tata Cara Thalak Menurut Undang-Undangan Positif
Dengan berlakunya UU No. 7 tahun 1989, maka prosedur cerai talak dan cerai gugat adalah sebagai berikut:
a.    Cerai Thalak
1.    Seorang suami yang akan menalak istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan Agama. Dalam permohonan tersebut dimuat identitas para pihak, yaitu: pemohon (suami), termohon (istri) yang meliputi: nama, umur dan tempat kediaman serta alsan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
2.    Pemeriksaan permohonan tersebut dilaksanakan oleh Majelis Hakim selambat-ambatnya 30 hari setelah berkas atas surat permohonan didaftarkan ke paniteraan Pengadilan Agama.
3.    Dalam pemeriksaan permohonan yang dilakukan dalam sidang tertutup Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan Agama menetapkan permohonan tersebut dikabulkan. Terhadap penetapan tersebut istri dapat mengajukan banding.
4.    Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan Agama menetukkan hari sidang penyaksian ikrar thalak, dengan memanggil suami istri atau wakilnya untuk menghadriri sidang.
5.    Jika suami dalam tenggang 6 bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar thalak, tidak datang sendiri atau tanpa wakilnya meskipun telah pendapatkan panggilan secara sah, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
6.    Setalah ikrar thalak diucapkan, maka hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar thalak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.
7.    Pejabat Pengadilan Agama yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 hari mengirimkan satu helai penetapan tersebut tanpa bermaterai kepada pegawai penacatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman pemohon dan termohon untuk mendaftarkan peneapan perceraian dalam daftar yang disediakan untuk itu.
8.    Paniteraan berkewajiban pula memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak (suami istri) selambat-lambatnya 7 hari sejak penetapan tersebut diberiahukan kepada para pihak (suami istri).

b.   Cerai Gugat
1.    Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat disertai alasan yang menjadi dasar gugatnnya.
2.    Apabila guagatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana, maka untuk memperoleh putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang memutuska perkara disertai keterangan yang menyatkaan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3.    Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tiak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memrintahkan tergugat untuk memrikskan diri kepada dokter.
4.    Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq maka untuk mendapatkan putusan perceraian harusdidengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat denga suami istri, pengadilan setelah mendengar saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau leih dari keluarga masing-masing pihak  atau orang lain untuk menjadi hakam.







DAFTAR PUSTAKA
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu
Surur, Achmad Tubagus. 2011. Fiqih Munakahat. Pekalongan: STAIN Press
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan. Jakarta: Kencana




Tidak ada komentar:

Posting Komentar