PENDAHULUAN
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya
sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki
agam islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki
putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjtukan,
maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya
perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.
Putusnya perkawinan atau perceraian dengan begitu adalah suatu jalan keluar
yang biak. Al-Qur’an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami istri
yang menunjukkan adanya keretkan dalam rumah tangga yang dapat berujung
perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga itu bermula dari tidak
berjalannya aturan yang ditetapkan Allah bagi kehidupan suami istri dalam
bentuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak. Allah
menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut tersebut
agar tidak terjadi perceraian. Dengan begitu Allah mengantisipasi kemungkinan
terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif
terakhir yang tidak mungkin dihindarkan. Putusnya perkawinan adalah istilah
hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau
berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang
selama ini hidup suami istri. Untuk maksud perceraian itu fiqh menggunakan
istilah furqah. Penggunaan istilah
putusnya perkawinan ini harus dilakukan secara hati-hati karena untuk pengertian
perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqih digunakan kata “ba-in”, yaitu
suatu bentuk perceraian yang suai tidak boleh kembali lagi kepada mantan istri
kecuali dengan melalui akad nikah yang baru. Didalam makalah ini kana
dijelaskan mengenai alasan-alasan pengajuan cerai, prosedur dan tata cara
perceraian.
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Hukum Thalak
Perceraian dalam
istilah ahli Figh disebut “thalak” atau“furqah”. Thalak secara etimologi adalah bentuk masdar dari
thalaqa denga di fathah dan di dhamah lam-nya. Thalak berarti melepas dan
meninggalkan. Secara terminologi thalak adalah melepaskan ikatan pernikahan
secara keseluruhan atau sebagian. Secara harfiyah Thalak itu berarti lepas dan
bebas. Kata melepaskan atau membuka atau meninggalkan mengandung arti bahwa
thalak itu melepaskan sesuatu yang selama ini tela terikat yaitu ikatan
perkawinan.
Dasar diperbolehkan thalak Al Qur’an,
sunnah, ijma, dan qiyas. Sesungguhnya pernikahan apabila terlaksana dengan akad
demi beberapa kemaslahatan, maka ia rusak dengan thalak dengan tujuan yang
benar juga. Bila hubungan pernikahan itu tidak dapat legi diepertahankan dan
kalau dilanjukan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka islam
membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya
perceraian atau thalak itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam
istilah ushul fiqih disebut makruh. Walaupun hukum asal dari thalak itu adalah
makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum
thalak, yaitu:
1.
Sunnah,
yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya
dipertahankan juga kemudaratan yang lebih banyak akan timbul.
2.
Mubah,
yaitu boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada
pihak-pihak yan dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada
kelihatannya.
3.
Wajib,
yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah
bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia
tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya.
Tindakan itu memudaratkan istrinya.
4.
Haram
thalak itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci
yang dalam masa itu ia telah digauli.
Syarat
dan Rukun Thalak
a.
Syarat-syarat
Thalak
Menurut
syariat islam seorang suami yang menjatuhkan thalak terhadap istrinya, sah
thalaknya apabila menurut syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Tidak
dipaksa
2.
Sehat
akal
3.
Tidak
keadaan mabuk (disengaja)
b.
Rukun
Thalak
Ditinjau dari segi cara seseorang mengucapkan
lafadz thalak, thalak ada 2 macam yaitu:
1.
Thalak
sharih yaitu thalak yang diucapkan suami secara tegas dan gamblang dengan
kata-kata thalak. Thalak sharih rukunnya ada 3 yaitu:
a.
Yang
menalak (suami)
b.
Yang
dithalak (istri)
c.
Lafadz
(tanpa niat)
2.
Thalak
kinayah yaitu thalak yang diucapkan suami tanpa mempergunakan kata-kata thalak
secara tegas tetapi dengan sindiran yang dapat diartikan dengan thalak. Thalak
kinayah rukunnya ada 4 yaitu:
a.
Yang
menalak
b.
Yang
dithalak
c.
Niat
(thalak)
d.
Shighat
(lafadz)
Macam-macam
Thalak
1.
Thalak
Raj’i adalah thalak kesatu atau kedua, dimana seorang suami berhak rujuk selama
istri dalam masa iddah/menunggu.
2.
Thalak
Ba’in Sughra adalah yang tidak boleh dirujuki tetapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
3.
Thalak
Ba’in Kubro adalah thalak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Jenis thalak ini
tidak boleh dirujuk kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah
bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da
aldukhul dan habis masa iddahnya.
4.
Thalak
sunni adalah thalak yang dibolehkan yaitu thalak yang dijatuhkan terhadap istri
yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
5.
Thalak
Bid’i adalah thalak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri
dalam keadaan haid, atau istri dalam kedaan suci tapi sudah dicampuri pada
waktu suci tersebut.
B. ALASAN PENGAJUAN CERAI
1. Menurut Syariat Islam
Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung
dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan. Dalam
hal ini ada 4 kemungkinan:
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui
matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya
berakhir pula hubungan perkawinan.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan
tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian
dalam bentuk ini dinamakn thalak.
c. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri
melihat sesuatu yag menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak
berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusny perkawinan yang disampaikan si
istri dengan cara tertetu ini diterima oleh suami dan dilanjutnya dengan
ucapannya untuk memutuskan perkwinan itu. Putusnya perkawinan ini disebut khulu’.
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada istri yang menandakan tidak
dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan ini disebut fasakh.
Di samping itu, terdapat pula beberapa hal yang menyebabkan
hubungan suami istri dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak
memutuskan hubungan perkawinan itu secara hukum syara’. Terhentinya hubungan
perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk yaitu:
a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah
menyamakan istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri
bila si suami telah membayar kaffarah. Terhentinya hubungan suai istri ini
disebut dengan zhihar.
b. Suami tidak boeh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah
untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar
kaffarah atas sumpahnya itu; namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan
perkawinan ini disebut dengan ila’.
c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah
menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina,
sampai proses li’an dan perceraian dimuka hakim. Terhentinya perkawinan dalam
bentuk ini disebut li’an.
2. Menurut Peraturan
Perundang-Undangan
Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 dalam pasal 19
menyebutkan alasan bagi suami istri untuk bercerai ialah:
a. Slah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dsb yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
di luar kemampuan.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membehayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
C. Prosedur dan Tata Cara Pereraian
1. Tata Cara Thalak Menurut Ulama
Kesepakatan para ulama madzhab, kecuali Hambali bahwa thalak
yang dijatuhan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun ia telah pandai. Dan
thalak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa dinyatakan sah (kecuali pendapat
Hanafi). Dalam madzhab Hanafi ditegaskan bahwa thalak yang dijatuhkan orang
yang melakukannya karena keliru dan lupa, adalah sah. Dan Maliki, Syafii
sependapat dengan Abu Hanifah dan pengikutnya mengenai thalak yang dijatuhan
secara main-main, tapi Ahmad dan Hambal
menentangnya.
2. Tata Cara Thalak Menurut Undang-Undangan
Positif
Dengan berlakunya UU No. 7 tahun 1989, maka prosedur cerai
talak dan cerai gugat adalah sebagai berikut:
a. Cerai Thalak
1. Seorang suami yang akan menalak istrinya mengajukan
permohonan kepada pengadilan Agama. Dalam permohonan tersebut dimuat identitas
para pihak, yaitu: pemohon (suami), termohon (istri) yang meliputi: nama, umur
dan tempat kediaman serta alsan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
2. Pemeriksaan permohonan tersebut dilaksanakan oleh Majelis
Hakim selambat-ambatnya 30 hari setelah berkas atas surat permohonan
didaftarkan ke paniteraan Pengadilan Agama.
3. Dalam pemeriksaan permohonan yang dilakukan dalam sidang
tertutup Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Pengadilan setelah
berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah
cukup alasan perceraian, maka Pengadilan Agama menetapkan permohonan tersebut
dikabulkan. Terhadap penetapan tersebut istri dapat mengajukan banding.
4. Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,
Pengadilan Agama menetukkan hari sidang penyaksian ikrar thalak, dengan
memanggil suami istri atau wakilnya untuk menghadriri sidang.
5. Jika suami dalam tenggang 6 bulan sejak ditetapkan hari
sidang penyaksian ikrar thalak, tidak datang sendiri atau tanpa wakilnya
meskipun telah pendapatkan panggilan secara sah, maka gugurlah kekuatan
penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan
yang sama.
6. Setalah ikrar thalak diucapkan, maka hakim membuat penetapan
yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar thalak diucapkan dan
penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.
7. Pejabat Pengadilan Agama yang ditunjuk berkewajiban
selambat-lambatnya 30 hari mengirimkan satu helai penetapan tersebut tanpa
bermaterai kepada pegawai penacatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat
kediaman pemohon dan termohon untuk mendaftarkan peneapan perceraian dalam
daftar yang disediakan untuk itu.
8. Paniteraan berkewajiban pula memberikan akta cerai sebagai
surat bukti cerai kepada para pihak (suami istri) selambat-lambatnya 7 hari
sejak penetapan tersebut diberiahukan kepada para pihak (suami istri).
b. Cerai Gugat
1. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat disertai
alasan yang menjadi dasar gugatnnya.
2. Apabila guagatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu
pihak mendapat pidana, maka untuk memperoleh putusan perceraian sebagai bukti
penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang
memutuska perkara disertai keterangan yang menyatkaan bahwa putusan itu telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa
tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tiak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memrintahkan tergugat
untuk memrikskan diri kepada dokter.
4. Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq maka
untuk mendapatkan putusan perceraian harusdidengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat denga suami istri, pengadilan
setelah mendengar saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat
mengangkat seorang atau leih dari keluarga masing-masing pihak atau orang lain untuk menjadi hakam.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani. 2011. Hukum
Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu
Surur, Achmad Tubagus.
2011. Fiqih Munakahat. Pekalongan: STAIN Press
Syarifuddin, Amir.
2006. Hukum Perkawinan Islam di indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar