A. IBN RUSYID
Abu al-Walid
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyid. Ia lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan berasal
dari keluarga hakim di Andalusia (Spanyol). Ia sendiri pernah menjadi hakim di
Seville dan beberapa kota lai di Spanyol. Selanjutnya ia juga pernah menjadi
dokter Istana di Cordova, dan sebagai filosof dan ahl dalam hukum ia mempunyai
pengaruh yang besar dikalangan istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf
Ya’qub al-Mansur (1184-99M). Sebagai filosof, pengaruhnya dikalangan istana
tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha’. Sewaktu timbul peperangan
antara Sultan Abu Yusuf dan kaum kristen, Sultan berhajat pada sokongan kaum
ulama dan kaum fuqaha’. Keadaan berbalik dan Ibnu Rusyd dengan mudah
disingkarkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha’. Ia dituduh membawa falsafat yang
menyeleweng dari ajaran-ajaran islam dan demikian ditangkap dan diasingkan
kesuatu tempat bernama Lucena di daerah Cordova.
Dengan timbulnya
pengaruh kaum ulama dan fuqaha’ ini, kaum filosof tak disenangi lagi, Ibn Rusyd
kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal disana dalam usia 72 tahun di
tahun 1198 M. Ibnu Rusyd meniggalkan karangan-karangan dalam ilmu hukum Bidayah
al-Mujtahid dan dalam ilmu kedokteran Kitab al-Kulliat. Dalam kedua bidang
tersebut akhir ini ia banyak meringkas dan komentar tentang buku-buku
Aristoteles dan ClaudiusGalen, seoarang dokter ternama di abad ke 2 M. Orang
yang pertama kali memperkenalkan ke dunia Latin adalah Michael Scott di tahun
1230 M. Menterjemahkan bukunya Syarh al-Sama’ dan Syarh Kitab al-Nafsh.
B. Filsafat Ajaran Ibnu Rusyid
Ibnu Rusyid
membicarakan filsafat ketuhanannya diberbagai karangannya, antara lain Tahafut
at Tafahat dan Mana-hij al-Adillah, filsafat ini membahas tentang
wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan-Nya denga alam. Menurut Ibnu Rusyid,
Al-Ghazali telah mengisi bukunya Tahafutu al-Falasifah dengan
pemikiran-pemikiran sofistis dan kata-katanya tidak sampai pada tingkat
keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya terhadap filsafat itu
sendiri. Dalam Fashl Al-Maqa, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa mengenal pencipta itu
hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya untuk dijadikan
petunjuk bagi adanya pencipta itu.
Dengan segala
ketekunan Ibnu Rusyd harus mengadakan pemaduan antara filsafat dan agama,
karena adanya serangan yang berat terhadap filsafat terutama dari Al-Ghazali,
dan karena ia sangat menjunjung tinggi Aristoteles, karena itu ia harus
memberikan serangan-serangan terhadap Al-Ghazali, dan menyatakan bahwa filsafat
tidak berseberangan dengan agama, bahkan mengkokohkannya dan menjelaskan
perumusan-perumasannya.
Menurut Ibnu Rusyd
filsafat tidaklah bertentangan dengan Islam, bahkan orang islam diwajibkan atau
sekurang-kurangnya dianjurkan mempelajarinya. Tugas falsafat ialah tidak lain
dari pada berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini.
Kalau pendapat akal dan falsafat bertentangan dengan teks wahyu, demikian Ibnu
Rusyd selanjutnya, teks wahyu harus diberi interprestasi demikian rupa sehingga
menjadi sesuai dengan pendapat akal.
Untuk itu dipakai
ta’wil. Ayat-ayat Qur’anmepunyai arti-arti lahir dan batin. Arti batin ini
hanya dapat diketahui oleh filosof-filosof dan tak boleh disampaikan kepada
orang awam. Oleh karena itu tidak ada ulama-ulama yang mengeluarkan pendapat
mereka kepada umum tentang masalah-masalah tertentu. Dengan demikian, apa yang
disebut ijma’ al-‘ulama’ (kosensus ulama) dalam soal-soal tertentu tidak
diperoleh. Oleh karena itu al-Ghazali, kata Ibnu Rusyd, tak mempunyai pegangan
untuk menuduh kaum filosof menjadi kafir atas alasan ijma’ al-‘ulama’.
Dalam mengkritik
al-Ghazali, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa dalam pandangna islam segala-galanya
dalam alam ini berlaku menurut hukum alam, yaitu menurut sebab-musaba atau
causality. Al-Ghazali sendiri tidak percaya adanya hubungan sebab-musabab.
Pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kaum filosof atas serangan-seranagn
al-Ghazali yang menuduh kaum filosof menjadi kafir atas pemikiran-pemikiran
mereka berikut ini, yaitu:
1.
Alam
bersifat kekal.
2.
Tuhan
tidak tahu perincian yang terjadi di alam ini.
3.
Pembangkitan
jasmani tidak ada.
Mengenai soal
pertama yaitu kaum teolog berpendapat “alam dijadikan Tuhan” dalam arti
“dijadikan dari tiada”. Pendapat ini menurut Ibnu Rusyd, tidak memiliki dasar
syariat yang kuat. Tidak ada ayat al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya
berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari diriNya, dan kemudian
barulah dijadikan alam. Ini merupakan pendapat dan interprestasi kaum teolog.
Bahkan ayat-ayat Qur’an menyatakan bahwa alam dijadikan bukanlah dari tiada,
tetapi dari sesuatu yang telah ada. Menurut ayat-ayat Qur’an bahwa sebenarnya
bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu
diberi nama air. Jadi, bumi dan langit dijadikan uap, alam dalam artian
bersifat kekal dari zaman lampau yaitu qadim. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam
ini betul diwujudkan secara terus menerus..dengan kata lain alam adalah kekal.
Dengan demikian pendapat para filosof tentang kekalan alam tidaklah
bertentangan dengan ayat-ayat Qur’an, apalagi tidak ada ayat yang dengan jelas
dan tegas mengatakan bahwa alam diadakan dari tiada.
Mengenai soal yang
kedua, bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada dalam alam. Menurut Ibnu
Rusyd bahwa pengetahuan Tuhan tetang perincian yang terjadi di alam tidak sama
dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia dalam hal
ini mengambil bentuk efek,sedangkan pengetahuan Tuhan mengenai sebab, yaitu
sebab bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya penegtahuan manusia
bersifat baharudan penegatahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azal Tuhan
mengetahui semua hal-hal terjadi di alam, sungguh betapapun kecilnya.
Mengenai soal
ketiga, bahwa kebangkita jasmani itu tidak ada. Ibnu Rusyd menuduh al-Ghazali
mengatakan hal-hal yang saling bertentangan. Di dalam Tahafut al-Falasifah,
al-Ghazali menulis bahwa tidak ada orang islam yang mengatakan pembangkitan
akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Keterangan ini, menurut Ibnu Rusyd
bertentangan dengan al-Ghazali sendiri dalam buku lain. Di dalam buku itu
al-Ghazali menyebut bahwa pembangkitan bagi kaum sufi akan terjadi dalam bentuk
rohani dan tidak dalam bentuk jasmani. Oleh karena itu, terdapat ijma’ ‘ulama’
tentang soal pembangkitan di hari kiamat. Dengan demikian kaum filosofyang
berpendapat bahwa pembangkitan jasmani tidak ada, taklah dapt dikafirkan. Ibnu
Rusyd berpendapat, bahwa bagi orang awam soal pembangkitan itu perlu
digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk rohani karena
pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi orang awam untuk melakukan
pekerjan-pekerjaan baik dan untuk menjauhi perbuatan-perbutan jahat.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad.1996.Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Mustofa, H. A.1997.Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Nasution,
Harun.1995.Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar