Minggu, 22 Februari 2015

IBN RUSYID


A. IBN RUSYID

            Abu al-Walid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyid. Ia lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan berasal dari keluarga hakim di Andalusia (Spanyol). Ia sendiri pernah menjadi hakim di Seville dan beberapa kota lai di Spanyol. Selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai filosof dan ahl dalam hukum ia mempunyai pengaruh yang besar dikalangan istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99M). Sebagai filosof, pengaruhnya dikalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha’. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum kristen, Sultan berhajat pada sokongan kaum ulama dan kaum fuqaha’. Keadaan berbalik dan Ibnu Rusyd dengan mudah disingkarkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha’. Ia dituduh membawa falsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran islam dan demikian ditangkap dan diasingkan kesuatu tempat bernama Lucena di daerah Cordova.
            Dengan timbulnya pengaruh kaum ulama dan fuqaha’ ini, kaum filosof tak disenangi lagi, Ibn Rusyd kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal disana dalam usia 72 tahun di tahun 1198 M. Ibnu Rusyd meniggalkan karangan-karangan dalam ilmu hukum Bidayah al-Mujtahid dan dalam ilmu kedokteran Kitab al-Kulliat. Dalam kedua bidang tersebut akhir ini ia banyak meringkas dan komentar tentang buku-buku Aristoteles dan ClaudiusGalen, seoarang dokter ternama di abad ke 2 M. Orang yang pertama kali memperkenalkan ke dunia Latin adalah Michael Scott di tahun 1230 M. Menterjemahkan bukunya Syarh al-Sama’ dan Syarh Kitab al-Nafsh.

B. Filsafat Ajaran Ibnu Rusyid
            Ibnu Rusyid membicarakan filsafat ketuhanannya diberbagai karangannya, antara lain Tahafut at Tafahat dan Mana-hij al-Adillah, filsafat ini membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan-Nya denga alam. Menurut Ibnu Rusyid, Al-Ghazali telah mengisi bukunya Tahafutu al-Falasifah dengan pemikiran-pemikiran sofistis dan kata-katanya tidak sampai pada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya terhadap filsafat itu sendiri. Dalam Fashl Al-Maqa, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa mengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu.
            Dengan segala ketekunan Ibnu Rusyd harus mengadakan pemaduan antara filsafat dan agama, karena adanya serangan yang berat terhadap filsafat terutama dari Al-Ghazali, dan karena ia sangat menjunjung tinggi Aristoteles, karena itu ia harus memberikan serangan-serangan terhadap Al-Ghazali, dan menyatakan bahwa filsafat tidak berseberangan dengan agama, bahkan mengkokohkannya dan menjelaskan perumusan-perumasannya.
            Menurut Ibnu Rusyd filsafat tidaklah bertentangan dengan Islam, bahkan orang islam diwajibkan atau sekurang-kurangnya dianjurkan mempelajarinya. Tugas falsafat ialah tidak lain dari pada berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini. Kalau pendapat akal dan falsafat bertentangan dengan teks wahyu, demikian Ibnu Rusyd selanjutnya, teks wahyu harus diberi interprestasi demikian rupa sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.
            Untuk itu dipakai ta’wil. Ayat-ayat Qur’anmepunyai arti-arti lahir dan batin. Arti batin ini hanya dapat diketahui oleh filosof-filosof dan tak boleh disampaikan kepada orang awam. Oleh karena itu tidak ada ulama-ulama yang mengeluarkan pendapat mereka kepada umum tentang masalah-masalah tertentu. Dengan demikian, apa yang disebut ijma’ al-‘ulama’ (kosensus ulama) dalam soal-soal tertentu tidak diperoleh. Oleh karena itu al-Ghazali, kata Ibnu Rusyd, tak mempunyai pegangan untuk menuduh kaum filosof menjadi kafir atas alasan ijma’ al-‘ulama’.
            Dalam mengkritik al-Ghazali, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa dalam pandangna islam segala-galanya dalam alam ini berlaku menurut hukum alam, yaitu menurut sebab-musaba atau causality. Al-Ghazali sendiri tidak percaya adanya hubungan sebab-musabab.
Pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kaum filosof atas serangan-seranagn al-Ghazali yang menuduh kaum filosof menjadi kafir atas pemikiran-pemikiran mereka berikut ini, yaitu:
1.      Alam bersifat kekal.
2.      Tuhan tidak tahu perincian yang terjadi di alam ini.
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
            Mengenai soal pertama yaitu kaum teolog berpendapat “alam dijadikan Tuhan” dalam arti “dijadikan dari tiada”. Pendapat ini menurut Ibnu Rusyd, tidak memiliki dasar syariat yang kuat. Tidak ada ayat al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari diriNya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Ini merupakan pendapat dan interprestasi kaum teolog. Bahkan ayat-ayat Qur’an menyatakan bahwa alam dijadikan bukanlah dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada. Menurut ayat-ayat Qur’an bahwa sebenarnya bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu diberi nama air. Jadi, bumi dan langit dijadikan uap, alam dalam artian bersifat kekal dari zaman lampau yaitu qadim. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam ini betul diwujudkan secara terus menerus..dengan kata lain alam adalah kekal. Dengan demikian pendapat para filosof tentang kekalan alam tidaklah bertentangan dengan ayat-ayat Qur’an, apalagi tidak ada ayat yang dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa alam diadakan dari tiada.
            Mengenai soal yang kedua, bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada dalam alam. Menurut Ibnu Rusyd bahwa pengetahuan Tuhan tetang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil bentuk efek,sedangkan pengetahuan Tuhan mengenai sebab, yaitu sebab bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya penegtahuan manusia bersifat baharudan penegatahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azal Tuhan mengetahui semua hal-hal terjadi di alam, sungguh betapapun kecilnya.
            Mengenai soal ketiga, bahwa kebangkita jasmani itu tidak ada. Ibnu Rusyd menuduh al-Ghazali mengatakan hal-hal yang saling bertentangan. Di dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali menulis bahwa tidak ada orang islam yang mengatakan pembangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Keterangan ini, menurut Ibnu Rusyd bertentangan dengan al-Ghazali sendiri dalam buku lain. Di dalam buku itu al-Ghazali menyebut bahwa pembangkitan bagi kaum sufi akan terjadi dalam bentuk rohani dan tidak dalam bentuk jasmani. Oleh karena itu, terdapat ijma’ ‘ulama’ tentang soal pembangkitan di hari kiamat. Dengan demikian kaum filosofyang berpendapat bahwa pembangkitan jasmani tidak ada, taklah dapt dikafirkan. Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa bagi orang awam soal pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk rohani karena pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi orang awam untuk melakukan pekerjan-pekerjaan baik dan untuk menjauhi perbuatan-perbutan jahat.

DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad.1996.Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang      
Mustofa, H. A.1997.Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Harun.1995.Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar